CatatanLepas , oleh, wirawanBrotoyuwono, september, 2006

"Di sini 'dingin' sekali .." Ah, seorang 'penguin' mestinya sudah terbiasa untuk itu.
> Prakata
> ListCatatan :
>> Gatal ya Digaruk Saja
>> Dreaming Properties
>> Sisa 4. Tak Lebih.
>> Tim yang Solid
>> Pengemis-pun Kasihan
>> Gundul.Harus itu.
>> Ganti, ya jangan..
>> Serba Bodoh
> TumorOtakSaya :
>> Gejala.Awam ?!
>> Diagnosa
>> MedicalTreatment(1)
>> MedicalTreatment(2)
>> HomeCare
>> Hari ini
> BayanganLiar :
>> SteveJobs
>> Kambing Hitam
>> Copy'n'Paste
>> BIOS
>> SampahOrganik
>> Korespondensi
>> Kucing
>> MSCA
>> Lupa
>> CCTV
>> T.I.K
>> RadenGatotkaca
>> Telat Terus
>> TempatSampah
>> Proyek
>> Putar Kepala
>> AlurStudi
>> VoIP
>> Hosting
>> TelMon
>> eMail
>> ReviSet
>> PresPLO
>> Grafik(2)
>> Tidur(3)
>> Kuda
>> Lepas Tongkat
>> ssh
>> Tidur(2)
>> Nginternet
>> Bau Sate
>> MbahDukun
>> Kress Kress
>> Perangko
>> Password
>> Pakai 3
>> Robot
>> GrafikAneh
>> PendekarCapKakiTiga
>> Panjang Sebelah ?!
>> JamPulang
>> PHP ber-awk
>> Tidur
>> arsip(Lama) :
> Cerpen :
>> cerpen -- Sosok dan Mouse
>> cerpen -- Grep Rasa Durian
>> cerpen -- Lurah DHCP
>> cerpen -- Komidi 'RRD'
>> cerpen -- Desain Grafis cap ___________ Kue Lapis
> Artikel :
>> artikel -- Terbilang Perl-way
>> artikel -- BillingSystem
>> artikel -- TelkomMonitor
>> artikel -- upTimeMonitor

> Galeri :
>> MDF_(dok/WB)
>> Terbilang -- v.PHP
>> GoogleMON
.. CatatanLepas

Lurah DHCP
oleh : wirawanBrotoyuwono

Kereta melambat. Makin pelan. Berhenti. Saya baca papan nama stasiun, ini pasti tempat-nya. Turun lalu memandang sekitar, mencari-cari-nya. Itu dia. Dia seorang sahabat lama. Sahabat kost. Belasan tahun kami tidak bertemu. Dia menjemput saya sesuai dengan kesepakatan dalam pembicaraan telepon beberapa hari lalu. Saya ingin mengunjunginya. Keluarganya. Lingkungannya.

Senyum lebar. Kami saling menghampiri. Berjabat tangan, saling menepuk ringan pundak kanan masing-masing lainnya, sambil,
"Hire dab ?".== bagaimana kabarnya
"Pahin-pahin.".== baik
"Soco ? padhan ?".== suami/istri? anak?
"Ponye, sehat semua".== oke
Baris-baris ungkapan akrab antar kami berdua, itu 'slank' tahun 80-an, sebentuk enkripsi bernada kejawen yang pernah populer pada generasi seusia kami. Itu sangat mengingatkan saya pada kenangan masa lalu.

Bunyi peluit kereta api bersiap untuk berangkat lagi ke stasiun berikutnya. Tersadar dari berbagai kenangan yang tiba-tiba bermunculan. Dia mengajak segera ke rumahnya.
"Ayo buruan, ada banyak cerita masa lalu yang harus segera kita tuntaskan. Anak istriku sudah lama menunggumu."

***

Berboncengan sepedamotor, kami berdua saling menyebutkan nama nama kenalan yang terlintas di benak. "“ Si-‘anu’ itu sekarang di mana ? jadi apa ? kerja apa ? kawin sama siapa ? anaknya berapa ? “"
Begitulah, saya dan dia bertukar cerita tentang berbagai hal yang berkaitan dengan masa lalu kami.

Belasan menit kemudian, dengan tangan kirinya, dia menunjuk sebuah titik di kejauhan.
"“Itu desa tempat tinggalku”".
Ada kebanggaan terasa. Jalan menanjak, rumah-rumah penduduk makin jelas detilnya. Kami mengitari tepi wilayah desa. Beberapa jalan pintas yang saya perkirakan menuju pusat desa tidak dilaluinya. Semakin banyak jalan pintas seperti itu dan lagi-lagi dia tak melaluinya. Kenapa ?

Beberapa saat kemudian,
"“Itu gerbang desaku.”" ,
ujarnya sambil menunjuk ke suatu tempat.
Sejurus kami sampai di tempat itu. Sepasang gapura di kanan kiri pinggir jalan beraspal, sederhana, ada tulisan "‘Dirgahayu .....’". Bagi saya ini "‘standar’" sekali, tak ada yang lebih mengesankan tentang itu., lalu saya,
"“Inikah gerbangnya ?”"
"“Ya. Ini gerbang yang sangat berarti bagi penduduk desa ini”."
"“Itukah yang menjadi alasan ketika kamu melewatkan semua jalan pintas yang kita jumpai ?”."
"“Begitulah, menurut etika di sini, seorang tamu harus keluar masuk wilayah desa melalui gerbang desa. Inilah salah satu cara kami menghormati tamu sepertimu. Dan aku yakin pastilah kamu tidak berkeberatan untuk dihormati, kan ?”"
Saya tertawa mendengarnya.
Kami meneruskan perjalanan ke rumahnya.

***

Tiba di rumahnya. Tempat tinggal keluarga kecilnya. Dia, istrinya dan anak perempuan mereka. Tersenyum , istrinya,
"“Kami sudah lama menanti kedatanganmu. Benar kan dik ?”."
sapanya, sambil menoleh ke anaknya yang segera mengangguk.
"“I ya, kan sopannya harus begitu”."
Kami tergelak bersama. Kesopanan anak kecil selalu berbalut keterusterangan yang kadang bertentangan dengan basa basi. Saya mulai menyukai keluarga ini.

Dia berkata pada saya, "“Istirahatlah. Kamu bisa pakai kamar depan. Istri dan anakku sudah menyiapkannya untukmu. Nanti malam kita jalan-jalan, akan kuperkenalkan kamu dengan lingkungan desa ini ”."
Saya meng-iyakan kata-katanya. Mandi. Rebahan di kamar depan.

Dalam kamar depan, saya melihat sebuah album photo di atas meja kecil dekat tempat tidur. Tampaknya ini memang sengaja dipersiapkan untuk di’baca’ oleh tamu yang menginap di kamar ini.
Ingin tahu, saya raih album itu. Simak. Ada photo ‘mantenan’ –-nya, dia sekalian dengan istri, photo istrinya menggendong anaknya waktu masih kecil, photo gapura desa, photo jajaran pegawai sebuah kantor pemerintahan, photo seorang perempuan dan ada photo lain yang tak lagi saya perhatikan. Saya mulai diserang rasa kantuk, kelelahan perjalanan tadi. Tidur.

Saat terbangun, hari sudah menjelang malam. Teringat sesuatu. Saya bersiap akan janjinya.
Selepas magrib kami mulai acara ‘jalan-jalan’. Bertiga saya, dia dan anak perempuannya. Kami berjalan kaki. Malam yang indah.
Dia mengajak saya berkunjung ke rumah seseorang. Katanya,
"“Aku ingin mengenalkan kamu dengan seseorang yang sangat berarti dalam kehidupan keluarga kami malah mungkin bagi hampir tiap warga desa ini. Rumahnya dekat sini.”"

Sebuah rumah sederhana. Masuk pekarangan, anak perempuannya berlari kecil ke pintu rumah dan mengetuk sembari mengucap salam. Kelihatannya anakitu sudah sangat akrab dengan penghuninya. Ada jawaban salam dari dalam lalu kunci pintu dibuka.
"“...ada suara cucuku... cucu yang mana ya ?”". Seorang perempuan paruh baya. Setelah memperhatikan dia dan anak perempuannya yang lantas khidmat mencium tangan tanda hormat.
"“Rupanya kalian, di mana ibumu , wuk ?”"
"“Tunggu rumah, mbah.”"
"“Masuklah kalian, simbah kakung-mu lagi pergi, ada urusan katanya. ... lalu nakmas ini siapa ya, sepertinya kita belum pernah ketemu apa aku yang lupa, maklum sudah tua...”"
Saya memperkenalkan diri. Lalu tak lama kami sudah larut dalam perbincangan akrab.

Perempuan paruh baya itu adalah bidan desa maka sewajarnya bila warga desa sangat menghormatinya. Hampir tiap warga desa pernah ditolongnya. Setiap ‘orang tua’ di desa ini menganggapnya sebagai seorang '“ibu”'. Setiap ‘anak’ di desa ini menganggapnya sebagai seorang '“nenek”'.

Semakin malam, kami berpamitan.
Dalam perjalanan pulang, dia,
"“Bu Bidan sangat berpengaruh bagi-ku. Beliau selalu dibutuhkan dalam proses persalinan warga desa. Tentunya jumlah warga makin bertambah, dan makin bertambah pula ‘cium tangan’ bagi beliau. Pantaslah beliau hapal setiap warga yang telah dibantu kelahirannya. Beliau punya catatan tentang itu.”"
"“Pasti begitu. Malah mungkin lebih dari itu. Aku yakin. Maksudku soal ‘cium tangan’”."

***

Pagi berikutnya. Kami berencana ‘jalan-jalan’ untuk lebih mengenal desa ini.
"“Apa ‘ini’ tidak mengganggu pekerjaanmu ?”", tanya saya.
"“Tak apalah. Toh, kerjaan tidak mengharuskanku hadir setiap saat. Santai saja.”"

Kami mulai berjalan sambil bercerita tentang serunya masalalu. Beberapa saat, dia,
"“Itu kelurahan !.”"
Saya memandang arah yang ditunjuknya. Kantor kelurahan di kejauhan. 2 orang keluar dari dalam kantor.
"“Itu pak Lurah. Dan yang tidak berseragam itu pasti seorang tamu. Kelihatannya tamu akan pergi”
"“I ya, aku melihatnya.”"
"“Pak Lurah pasti akan mengarahkan tamunya agar keluar wilayah ini melewati gerbang desa.”"
"“Selalu begitu ? Harus melewati gerbang desa ?”"
"“Ya. Bukankah semua tamu harus dihormati ?!. Pak Lurah menganggap ‘melewatii gerbang’ merupakan suatu kehormatan. .... Pak Lurah juga memberikan kemudahan pemberian '‘identitas’' bagi setiap warga dan tamunya. Tamu yang ingin menjadi warga tak perlu mendaftarkan diri, tapi otomatis pegawai kelurahan akan mendatanya. Begitu juga kalau ada kelahiran warga baru, pak Lurah selalu berkoordinasi dengan bu Bidan. Lurah yang hebat.”"

Saya terdiam. Ada aroma kekaguman pada sosok pak Lurah.

Kami melewati depan kantor kelurahan. Dari pintunya yang terbuka lebar, saya melihat seorang pegawai melambaikan tangannya. Kami membalas lambaian itu.
"“Itu pak Carik”", dia menerangkan. Lanjutnya,
"“Pak Carik mencatat semua yang berkaitan dengan desa ini. Warga desa sering meminta suatu informasi darinya. Selayaknya '‘yellowpages’' saja, sungguh hebat ingatan-nya. Kalau dia tak mengetahui suatu hal, dia pasti menanyakan hal itu pada carik desa lainnya. Mereka punya jalur khusus untuk saling berhubungan.”"

Begitulah. Kami berjalan sambil bercerita tentang masa lalu sampai lelah. Istirahat sebentat, lalu pulang.

***

Di kamar depan, saya buka lagi album photo itu. Saya cermati setiap wajah yang ada.
Photo ‘mantenan’. Photo istri mengendong anak. Keluarga. Ya pasti ini orang-orang yang sangat dicintainya.
Photo ‘jajaran pegawai’, ini gambar pak Lurah, pak Carik dan beberapa pegawai lain. Ini pasti orang yang dikaguminya.
Photo seorang perempuan. Ini gambar bu Bidan. Pantaslah, beliau selalu menjadi tokoh yang dihormati.
Photo gerbang desa. Ini gambaran jalur keluar masuk desa.

Lama berpikir, saya kira saya bisa meraba arahnya.

***

Berpamitan. Bersalaman, saya,
"“Panyu sangi dab. Daguy-dhuthudh”"
== Saya pulang. Terimakasih.
Dia tersenyum. Mengangguk. Mengacungkan ibu jari kanannya.
Sahabat yang selalu baik.

Perjalanan pulang. Dalam kereta, saya teringat sesuatu.Tentang desa itu dan menghubungkannya dengan sebuah konsep network.

Dia, istri dan anak bagai sebuah host dalam network. Pak Lurah memberikan identitas bagi setiap mereka. Begitupun pasti bagi tiap warga desa lainnya. Ya semacam '‘IP Address’'a
. lalu,
Ibu Bidan memberi informasi perkiraan jumlah warga dari catatan persalinan-nya . Lalu pak Lurah menentukan ‘kelompok’ warga berdasar informasi itu. Ya semacam '‘subnet Mask’'.
lalu,
Pak Carik menjadi sebuah '‘kamus hidup’', Ya semacam ‘DNS server’.
lalu,
Gerbang , meski cuma gapura sederhana, menjadi ‘jalur keluar masuk’ bila harus berhubungan dengan tamu , pendatang atau cuma orang lewat. Ya semacam '‘default Gateway’'.
lalu akhirnya,
Pak Lurah mengatur semua itu. Pak Lurah terus mengawasinya. Ya semacam hubungan '‘client-server’' yang otomatis.

Maksud saya, semua ini tentang konsep DHCP .... Dynamic Host Configuration Protocol.

***

minomartani, pebruari, 2007
PostingTerbaru :
>> SteveJobs , 11/10/11
>> KambingHitam , 11/08/11
>> Copy'n'Paste , 18/04/11
>> BIOS , 11/04/11
>> SampahOrganik , 29/03/11
>> Korespondensi , 28/03/11
>> Kucing , 23/03/11
>> MSCA , 21/03/11
>> Lupa ,14/03/11
>> CCTV ,10/03/11
>> T.I.K ,7/03/11
>> Gatotkaca ,7/03/11
>> Telat Terus ,28/02/11
>> TempatSampah ,24/02/11
>> Proyek ,21/02/11